ASPEBINDO Minta Pemerintah Tinjau Ulang Kebijakan Relaksasi Ekspor Mineral
Jakarta, 19 Juni 2023 – Pemberian relaksasi ekspor mineral logam untuk komoditas tembaga, besi, timbal, atau seng sampai dengan 31 Mei 2024 yang diberikan pemerintah masih menuai pro kontra di masyarakat. Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (ASPEBINDO) meminta kebijakan ini dapat dipertimbangkan kembali.
Ketua Umum Aspebindo Anggawira menyampaikan relaksasi ekspor harusnya bukan peraturan yang berdiri sendiri namun disertai pengawasan ketat lebih jauh ia mengusulkan kebijakan alternatif yang mengatur per komoditas mineral.
“Sektor mineral ini produknya berbeda dan tantangannya juga berbeda, apakah akan lebih baik jika ada aturan per komoditas supaya kita bisa mem-follow up komoditas yang direlaksasi. Selama ini relaksasi diberikan tapi tidak ada dampak nyata untuk kemajuan hilirisasi mineral yang menjadi misi pemerintah,” ujar Anggawira, dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 19 Juni 2023.
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Aspebindo Fathul Nugoro mengapresiasi kebijakan hilirisasi mineral yang sudah diterapkan oleh Presiden Jokowi, untuk itu tidak boleh ada alasan untuk menunda hilirisasi mineral yang telah didorong pemerintah.
“Kebijakan ini adalah kebijakan yang positif, karena dampaknya ini bisa sepuluh kali lipat, begitu kebijakan hilirisasi ini yaitu di antaranya pelarangan ekspor mineral dan membangun industri smelter di dalam negeri. Untuk itu pemerintah seharusnya konsisten dan memberikan sanksi yang tegas,” ujar Fathul.
Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara Kementerian Investasi/BKPM Hasyim memastikan langkah yang diambil pemerintah sudah sesuai dengan semangat hilirisasi mineral yang menjadi program presiden.
“Kita terus mendorong, pelaku usaha di industri produk ini bisa membangun industri di Indonesia. Kita mengajak para investor dan daerah juga siap saat ini dan kita berikan dukungan kebijakan,” tutur Hasyim.
Berkaca dari sudut pandangan hukum, Tim Bagian Hukum Energi Pusat Studi Energi UGM Irine Handika, memandang relaksasi ekspor mineral ini harus di-follow up. Ia menyoroti perlu adanya bridging policy, regulasi yang mengatur khusus masing-masing kelompok mineral.
“Kami mengusulkan adanya bridging policy yaitu kebijakan dibawah UU yang mudah untuk dieksekusi yaitu melalui R-Perpres. Diawali dengan mengidentifikasi mineral-mineral yang berperan penting dalam hilirisasi dan mengelompokkan dalam sebuah platform mineral kritis dan strategis,” ujar Irine.
Irine juga menyoroti kedudukan hukum dari relaksasi ini karena seharusnya tata kelola undang-undang peraturan pemerintah tidak boleh menimbulkan norma baru.
“Saya mengajak kita semua memikirkan, apakah kita mau terus relaksasi ekspor ini dengan permen tadi ya. Kalau kita lihat yang namanya permen itu hanya boleh mengatur norma yang bersifat teknis administratif dan ada batasan tata undang-undang yaitu permen tidak boleh menimbulkan norma baru artinya apakah sudah tepat pilihan kita untuk mengatur sebuah permen menjadi permen yang sangat powerfull, seperti yang saat ini sudah beberapa kali dilakukan,” tutur Irine.
Sebagai penutup, Fathul menekankan pemerintah perlu secara cermat memperhatikan kebijakan relaksasi ekspor mineral ini agar tidak kembali terulang kebijakan relaksasi yang tidak konsisten dengan semangat hilirisasi pemerintah.
“Kami dari Aspebindo meminta pemerintah untuk meninjau dan memperhatikan kebijakan relaksasi ekspor mineral yang sudah disampaikan yaitu Permen ESDM No. 7 Th. 2023, karena perlu mempertimbangkan arah dan kebijakan yang sudah ditentukan oleh Bapak Presiden. Dari sisi level peraturannya ditetapkan oleh Permen ESDM apakah setara dengan apa yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Th. 2020,” tutup Fathul.